Menyulap Tanaman Eceng Gondok Menjadi Briket

Rabu, 23 Maret 20110 comments

Cita Indah, mahasiswi Jurusan Teknik Kimia, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya, Jawa Timur, prihatin akan semakin berkurangnya pasokan bahan bakar minyak yang berasal dari fosil.


Padahal kebutuhan manusia dalam menggunakan bahan bakar tidak pernah surut, bahkan terus meningkat. “Menurut para pakar, bahan bakar dari fosil akan habis pada 2050.

Tetapi melihat laju pertumbuhan kendaraan dan tingkat natalitas (kelahiran) yang ada sekarang, minyak bisa lebih cepat habis dari waktu yang diperkirakan,” ujar dia.

Sebagai mahasiswa yang mendalami bidang kimia dan memang tertarik dengan segala hal yang berkaitan dengan bidang tersebut, Cita mulai memutar otak untuk mencari sumber energi alternatif.

Bukan sekadar sumber energi alternatif, melainkan juga sumber energi yang mudah diaplikasikan oleh masyarakat. Persyaratan utamanya, kata Cita, sumber energi itu harus murah dan mudah didapat agar masyarakat bisa mengusahakan sendiri.

Cita pun menuturkan awal pencarian ide menemukan sumber energi alternatif tersebut. Suatu hari, ketika melewati sungai yang tidak jauh dari kampusnya, dia melihat hamparan eceng gondok di sungai itu.

Dari situ muncul pemikiran untuk mencari potensi tanaman tersebut sebagai sumber energi alternatif. Setelah melakukan riset awal, Cita pun memutuskan untuk mengeksplorasi tanaman eceng gondok sebagai bahan bakar untuk keperluan memasak.

“Pemilihan eceng gondok didasarkan pada dua alasan. Pertama, tanaman itu murah dan mudah ditemukan di sungai kota-kota besar seperti Surabaya dan Jakarta yang kandungan detergennya tinggi.

Kedua, pemanfaatan eceng gondok bisa menjadi solusi terhadap masalah lingkungan yang ditimbulkannya,” jelas Cita. Menurut dia, perkembangbiakan eceng gondok yang sedemikian cepat menjadikan tanaman itu gulma yang menimbulkan sederet masalah.

Eceng gondok dapat mempercepat pendangkalan sungai karena tanaman yang mati akan turun dan mengendap di dasar sungai. Selain itu, daunnya yang lebar dan banyak akan mengakibatkan penguapan sungai lebih cepat terjadi.

Persoalan lain yang dapat ditimbulkannya, banyak nyamuk yang bersarang di eceng gondok. Untuk meminimalisasi berbagai persoalan tersebut, Cita mencoba memanfaatkan eceng gondok sebagai bahan baku briket.

Cita mengatakan untuk membuat briket, semua bagian tanaman, baik tangkai maupun daunnya, bisa dimanfaatkan karena eceng gondok mengandung kadar selulosa yang cukup tinggi.

“Zat selulosa seperti yang terdapat pada kayu dan serabut kelapa yang membuat eceng gondok mudah terbakar,” papar dia. Lebih lanjut, Cita mengatakan meski kadar selulosa pada eceng gondok hanya 80 persen, pemanfaatan eceng gondok bisa mengurangi kerusakan lingkungan.

Selain itu, harganya jauh lebih murah ketimbang kelapa. Selulosa atau dalam rumus kimianya dikenal dengan (C6H10O5) merupakan polimer berantai panjang polisakarida karbohidrat dari beta-glukosa.

Senyawa itu merupakan komponen struktural utama dari tumbuhan dan tidak dapat dicerna oleh manusia. Proses Sederhana Pembuatan briket dari tanaman eceng gondok terbilang sederhana.

Dalam mengembangkan briket tersebut, Cita dibantu oleh dua rekannya, Ani Mufida dan Zulfikar. Cita menerangkan setelah diambil dari sungai, tanaman itu dicacah kira-kira seukuran ujung ruas jari.

Cacahan tersebut selanjutnya dijemur hingga kering selama tiga hari. Apabila cuaca mendung, proses penjemuran bisa memakan waktu hingga lima hari. Langkah selanjutnya adalah mencampur cacahan eceng gondok kering itu dengan cairan kanji sebagai pengikat.

Komposisi antara cacahan eceng gondok kering dan cairan kanji adalah 80 persen berbanding 20 persen. Larutan kanji berfungsi merekatkan partikelpartikel dalam bahan baku sehingga briket yang dihasilkan cukup padat dan kompak.

“Kami memilih pengikat berbahan dasar organik seperti kanji karena menghasilkan abu yang relatif sedikit setelah pembakaran briket dan umumnya merupakan bahan perekat yang efektif,” ujar Cita.

Menurut dia, percampuran hendaknya dilakukan ketika kanji masih berupa tepung agar tidak menggumpal. Kanji ditaburkan di atas cacahan terlebih dahulu, baru kemudian diberi air secukupnya.

Campuran itu kemudian dibentuk bulat seukuran bakso dengan cara meremas- remas dengan telapak tangan, dapat pula dengan alat pres briket. Setelah berbentuk bulat, bahan baku briket dikeringkan kembali dengan cara dijemur selama tiga hari.

Tahap berikutnya ialah karbonisasi. Proses itu merupakan salah satu tahapan yang penting dalam pembuatan briket eceng gondok sehingga diperoleh struktur rantai karbon yang lebih panjang.

Semakin panjang rantai karbon, hasil pembakaran pun akan lebih sempurna (lebih panas dan bersih). “Masukkan cacahan tadi ke dalam kaleng cat tembok bekas yang sudah dibersihkan, dan percikkan sedikit dengan minyak tanah, lalu dibakar selama dua jam,” papar Cita.

Selama proses pembakaran tersebut, kaleng mesti diupakan dalam keadaan tertutup. Namun, di bagian atas diberi lubang berdiameter sekitar 4 sentimeter sebagai jalan masuknya oksigen yang merupakan syarat terjadinya pembakaran.

Dengan kondisi kaleng yang hampir tertutup itu, kata Cita, terjadi akumulasi asap pembakaran yang dapat meningkatkan kadar karbon briket. Setelah melewati proses karbonisasi, briket eceng gondok pun siap digunakan.

Menurut Cita, briket itu bisa dipakai dengan anglo (tungku tanah liat), namun kelemahannya abu sisa pembakaran mudah beterbangan dan masuk ke pernapasan. Solusinya, masyarakat bisa membuat kompor briket dengan memanfaatkan kaleng cat tembok bekas.

Cara membuat kompor dari kaleng cat ialah dua kaleng direkatkan bertumpuk. Kaleng bagian bawah dibagi dua dengan penyekat berlubang-lubang. Penyekatan kaleng bagian bawah dimaksudkan untuk meletakkan briket di bagian atasnya, dan sisa abu pembakaran dapat ditampung di dasarnya melaui sekat berlubang.

Sementara itu, kaleng bagian atas digunakan untuk menyangga panci atau kuali. Panas pembakaran yang dihasilkan briket eceng gondok 4.000 kcal/ kg, sekitar separo dari panas yang dihasilkan gas Elpiji, yakni 11.000 kcal/kg.

Oleh karena itu, tutur Cita, waktu yang diperlukan untuk memasak dengan menggunakan briket eceng gondok dua kali lebih lama dibandingkan dengan menggunakan Elpiji.

Cita mengatakan untuk mengembangkan briket dari eceng gondok itu, dana yang dikeluarkannya 200 ribu rupiah. Dia dan rekan satu timnya kemudian menyosialisasikan hasil inovasi mereka kepada masyarakat di Desa Tanjek Wagir, Sidoarjo, Jawa Timur.

Dalam pandangan Cita, briket dari eceng gondok memiliki peluang besar untuk dikomersialisasikan. Apalagi biaya pembuatannya terbilang murah, hanya 700 rupiah per kilogramnya, sedangkan kompor mencapai 35 ribu rupiah.

“Sayangnya, kami belum sempat menindaklanjuti temuan ini ke tahapan komersialisasi karena masih sibuk dengan tugas praktikum di kampus dan tengah menyiapkan temuan berikutnya,” pungkas Cita.
SB/L-2.

Sumber : http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=63272
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Prolingkungan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger